Sabtu, Agustus 22, 2009

Hakekat Puasa (1)

Setelah selama satu tahun menanti, akhirnya kita bertemu lagi dengan Ramadhân yang mulia, saat kaum Muslimîn diwajibkan untuk mengerjakan salah satu rukun Islâm, yaitu puasa Ramadhân (shiyâmu Ramadhân). Secara etimologis, shawm berarti “menahan” (imsâk). Sedangkan secara terminologis, salah seorang ulama fiqih kontemporer, Dr. Yûsuf Qardhawi memberikan batasan bahwa “puasa secara syar’i adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan isteri, dan yang semisalnya sehari penuh, dari terbitnya fajar siddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu maghrib), dengan niat tunduk dan mendekatkan diri kepada Allâh swt.”
Puasa adalah ibadah yang tidak saja disyariatkan kepada kita sebagai umat Nabi Muhammad saw, tetapi juga telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu (Q.S. 2:183). Dalam terminologi ushûl fiqh, selain haji, ibadah ini termasuk ke dalam lingkup ibadah syar’u man qablanâ. Artinya bahwa puasa adalah ibadah yang sudah “tua” dan mempunyai sejarah yang panjang. Sehingga kita sering mendengar bahwa Nabi Idrîs as adalah seorang praktisi shawm ad-dahr (puasa sepanjang tahun), bahkan seutama-utama puasa yang dianjurkan oleh Nabi kita berasal dari rutinitas Nabi Dâwûd as yang berpuasa selang sehari. Begitu mengakarnya ibadah ini dalam sejarah orang-orang suci terdahulu.
Puasa juga merupakan media untuk meningkatkan kesehatan fisik, psikis dan sosial. Ditinjau dari perspektif fisik, telah banyak ahli medis yang menyatakan bahwa puasa dapat meningkatkan kualitas kesehatan seseorang. Antara lain puasa dapat mencegah arteriosclerosis (penebalan pembuluh darah)dan menurunkan tingkat kematian akibat jantung. Selain itu, puasa dapat juga menjadi terapi alternatif bagi mereka yang mempunyai masalah dengan pencernaan. Dan masih banyak pengaruh positif puasa lainnya terhadap kesehatan fisik seseorang. Secara psikologis, puasa memiliki efek yang signifikan dalam kepribadian seseorang. Puasa merupakan ibadah yang menjanjikan sebuah proses pengendalian nafsu (mujâhadat an-nafs) dan juga peningkatan derajat spiritual seseorang di sisi Allâh swt. Selain itu, puasa juga memberikan efek sosiologis yang menawarkan sebuah tatanan masyarakat yang penuh ketenangan dan kedamaian. Ketika seseorang berpuasa, maka ia harus berupaya menyempurnakan ibadah puasanya dengan tidak membicarakan kejelekan orang lain, mengadu domba orang, berprasangka buruk terhadap orang lain dan perilaku lainnya yang dalam skala tertentu dapat memicu terjadinya konflik sosial. Dalam berpuasa, seseorang dituntut untuk berfokus diri dalam menggapai keridhaan Ilâhi. Karena puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga semata, namun yang utama dari keduanya adalah mengendalikan hawa nafsu dan mengekang diri dari berbuat aniaya baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Secara filosofis, puasa dimaknai sebagai tahapan jiwa seseorang yang mulai merangkak meninggalkan kepuasan materi semata menuju kepuasan immateri. Biasanya, kita merasa puas memakan sesuatu, apabila sudah kenyang atau menunya sesuai dengan selera kita. Namun dalam puasa, persepsi kita ini dialihkan kepada mekanisme ketuhanan (ilâhiyyah) . … Dialah yang memberi makan, tetapi tidak diberi makan (Q.S. 6: 14). Dalam puasa, kita berusaha memberikan makanan kepada orang lain, karena dalam puasa kita belajar menghadirkan perasaan orang lain. Bagaimana perasaan mereka yang terpaksa mencari sesuap nasi diantara tumpukan sampah?. Dalam puasalah, kita berusaha merasakan kepedihan mereka itu dengan menyisihkan kenyang kita. Itulah konsekuensi dari keimanan yang sempurna, sebagaimana yang ditandaskan Rasûlullâh saw : “Tidak termasuk orang yang beriman seseorang yang dirinya merasa kenyang sementara tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Muslim). Kepuasan immateri inilah yang akan kita raih yaitu kepuasan dalam berempati terhadap orang lain yang akan menaikkan derajat ruhani kita di sisi-Nya. Rasûlullâh saw pernah bersabda bahwa Allâh swt. akan menolong hamba-Nya, selama ia berada dalam keadaan menolong saudaranya. ...(Bersambung)

12 komentar:

  1. Puasa bagi saya adalah bulan dimana aktivitas jadi tambah meningkat....dan semuanya ujian...

    BalasHapus
  2. @imoe: yup, setuju...jangan jadikan puasa sebagai alasana penurunan kinerja, justeru harusnya semakin meningkat, karena kecerdasan emosional dan spiritual kita diuji..thanks dah visit

    BalasHapus
  3. wah, mantab sekali nih, pakamsi. informasinya sungguh mencerahkan. semoga ibadah ramadhan tahun ini bisa lebih baik dibandingkan tahun kemarin.

    BalasHapus
  4. @sawali: ammin pak..semoga puasa kita semakin mendekatkan kita kepadaNya..nuhun dah berkenan blogwalking ke blog ini

    BalasHapus
  5. Ass...pak yeu sareng Ela Nurlaela XII-A

    BalasHapus
  6. Ass.Bpak yeu reng Diky. bpak qy ntos..

    BalasHapus
  7. bapak... kinnya sijew mah ...

    BalasHapus